Kasus Gagal Bayar-Bakrie Life

    BAB I 
         PENDAHULUAN


 1.1 Latar Belakang 
Perusahaan industri jasa keuangan di Indonesia, termasuk perusahaan asuransi, saat ini mulai banyak yang melakukan terobosan pemasaran dengan menciptakan produk hibrida atau produk campuran, misalnya produk perbankan (deposito) digabung dengan produk asuransi jiwa. Produk hibrida ini diharapkan dapat mendatangkan manfaat ganda bagi nasabah yaitu mendapatkan bunga deposito sekaligus proteksi asuransi jiwa. Perbankan di Indonesia memang belum ada yang menjadi universal banking di mana produk-produknya merupakan produk hibrida antara produk bank dan lembaga keuangan lain. Bank di Indonesia mayoritas masih berupa bank komersial (commercial banking) dan jika pun terdapat produk hibrida, jumlahnya masih sedikit dibandingkan dana di sektor perbankan. Sementara universal banking, yang banyak terdapat di Eropa dan juga di Jepang, membolehkan bank melakukan kegiatan usaha keuangan non-bank seperti investment banking dan asuransi Fenomena semacam itu dapat berdampak positif atau negatif tergantung cara kita menyikapinya. Penerbitan produk hibrida di sektor jasa keuangan, jika dikelola dengan baik dan benar, dapat meningkatkan gairah dan partisipasi masyarakat secara signifikan untuk membeli produk-produk jasa keuangan. Di lain pihak, jika tidak diiringi dengan pengawasan yang memadai, akan dapat memunculkan dampak negatif seperti yang terjadi dalam kasus Bank Century dan Antaboga Sekuritas, serta kasus gagal bayar yang menimpa PT Asuransi Jiwa Bakrie atau yang dikenal sebagai Kasus Bakrie Life. 

 BAB II 
PEMBAHASAN

2.1 Awal Mula Kasus Bakrie Life 
Kasus Bakrie Life bermula dari penjualan produk asuransi unit-link Diamond Investa yang merupakan produk hibrida antara asuransi jiwa dengan investasi pasar modal (umumnya reksadana). Banyak nasabah yang tergiur dengan tawaran ini karena produk Diamond Investa menawarkan imbal hasil 1,5 persen di atas bunga deposito per tahun plus manfaat proteksi asuransi jiwa. Sayang pemasaran produk asuransi unit-link ini kemudian bermasalah karena PT Asuransi Jiwa Bakrie (Bakrie Life) diduga gagal membayar imbal hasil beserta pokok dana nasabah dengan nilai total mendekati Rp 400 miliar. Hal tersebut ditengarai disebabkan adanya penyelewengan penempatan portofolio yang dilakukan oleh manajemen perusahaan. Bakrie Life dianggap melampaui batas dalam berinvestasi karena terlalu banyak menempatkan portofolio reksadana pada saham-saham perusahaan grup Bakrie, sehingga ketika harga saham perusahaan grup Bakrie berjatuhan akibat krisis global 2008 maka nilai portofolio Bakrie Life pun ikut terhempas. (Harian Sinar Harapan, 17 September 2009). 
 2.2 Kronologis Peristiwa Kasus Gagal Bayar-Bakrie Life 
Awalnya, kasus gagal bayar ini bermula dari krisis keuangan yang mendera pasar modal pada akhir 2008. Bakrie Life yang terlalu agresif dengan menempatkan 80% dana investasinya ke portofolio saham ternyata merugi investasi besar-besaran. Kondisi itu makin diperparah dengan redemption atau penarikan dana besar-besaran polis tradisional karena krisis kepercayaan pemegang polis di tengah krisis. Diamond Investa, salah satu produk Bakrie Life, memberikan janji imbal hasil atau return tinggi dan kemungkinan pemegang polis bisa dengan mudah menarik dananya saat masa garansi investasi habis tanpa terkena penalti. Imbasnya perseroan akhirnya tak mampu menambal kerugian investasi itu yang menyebabkan gagal bayar manfaat investasi produk asuransi itu mencapai Rp350 miliar sejak Juli 2009—Agustus 2009. Sekitar 600 nasabah, yang sebagian besar nasabah individu meminta pengembalian investasi mereka. Nasabahnya beragam mulai dari nasabah yang ‘menggadaikan’ uang dana pensiun milik orang tuanya hingga sengaja ‘memarkir’ dana milik saudara ke produk itu. Pemerintah, dalam hal ini Bapepam-LK—yang kini bertransformasi menjadi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan pemegang saham lalu meminta manajemen Bakrie Life agar bernegosiasi dengan nasabah mengenai mekanisme penjadwalan ulang pembayaran dana. Sayang, hingga batas waktu negosiasi yang ditetapkan belum berhasil diperoleh kesepakatan penuh dengan 100% nasabah. Proses selanjutnya berjalan. Akhirnya diperoleh mekanisme baru yakni nasabah mendapatkan 25% pada 2010, 2011 diperoleh 25%, dan sisanya dibayarkan pada 2012, meski ada beberapa pemegang polis yang belum setuju. Skema itu juga memuat perjanjian mengenai bunga yang dibayar setiap bulan senilai 9,5%, yang akan dijalankan mulai triwulan I/2010. Bunga ini turun dari perjanjian semula sebesar 12%-13%. Nasabah produk Diamond Investa ini sekitar 600 orang dengan total dana sekitar Rp350 miliar, seluruhnya berasal dari nasabah individu. Adapun nasabah produk asuransi tradisional Bakrie Life sebanyak 30.000 orang dengan total dana antara Rp175 miliar--Rp200 miliar. 
 2.3 Kurangnya Tindakan Tegas Oleh Bapepam-LK 
Mencuatnya kasus gagal bayar nasabah Bakrie Life, menurut Kepala Biro Perasuransian Bapepam-LK, disebabkan oleh gabungan berbagai faktor seperti ketidakcermatan manajemen, kemungkinan terjadinya praktek pelanggaran usaha, kondisi ekonomi, dan penanganan saat krisis yang tidak tepat. Jika Bapepam-LK memang mengetahui penyebab kasus Bakrie Life, maka timbul pertanyaan mengapa Bapepam-LK selaku regulator dan pengawas tidak berhasil mencegah munculnya kasus Bakrie Life. Bahkan, ketika kasus Bakrie Life benar-benar muncul ke permukaan, Bapepam-LK terkesan hanya mau menyerahkan penyelesaian kasus tersebut kepada Bakrie Life dan para nasabahnya. Para nasabah diminta menyelesaikan permasalahan sesuai polis, dan bila menemukan indikasi tindak pidana para nasabah disarankan melapor ke Kepolisian. Kasus Bakrie Life, dan juga kasus Antaboga Sekuritas, adalah contoh betapa lemahnya aspek pengawasan dan penindakan yang seharusnya dilakukan Bapepam-LK. Sebagai otoritas pasar modal dan lembaga keuangan non-bank, Bapepam-LK berfungsi sebagai regulator dan pengawas yang diberi wewenang khusus untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan. Oleh karenanya, guna mengatasi hambatan penegakan hukum di sektor keuangan, Pemerintah dan DPR perlu membentuk lembaga pengawas independen yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) paling lambat 31 Desember 2010 sebagaimana amanat Pasal 34 UU Bank Indonesia (UU 23/ 1999 juncto UU 3/ 2004). Pembentukan OJK akan mengambil alih fungsi pengawasan yang selama ini dijalankan BI dan Bapepam-LK. 
 2.4 Perlunya Pembenahan Aturan Hukum
 Kasus Bakrie Life juga memunculkan fakta adanya kelemahan dalam aturan hukum di bidang asuransi. Hal ini disebabkan UU 2/ 1992 tentang Usaha Perasuransian yang dibentuk pada masa Orde Baru belum pernah direvisi hingga saat ini, padahal UU Bank Indonesia dan UU Perbankan telah direvisi beberapa kali mengikuti perkembangan sosial-ekonomi-politik yang begitu cepat di era Reformasi.Pada saat pengajuan RUU bidang Keuangan pada tahun 2003, Pemerintah telah menyertakan RUU Otoritas Jasa Keuangan dan RUU untuk mengamandemen undang-undang bidang jasa finansial, seperti pasar modal, asuransi, dan dana pensiun. Tetapi, yang lolos menjadi UU hanya amandemen UU BI, yaitu UU Nomor 3 Tahun 2004 dan yang lainnya sampai kini masih menyangkut di DPR. Dari segi infrastruktur, Pemerintah telah menyiapkan diri dengan memerger Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dengan Direktorat Lembaga Keuangan (DJLK) menjadi Bapepam-LK berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 94 Tahun 2006 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia.(Rijanta Triwahjana, 2008). Kelemahan aturan dalam UU 2/ 1992 meliputi 4 (empat) hal sebagai berikut : a) UU 2/ 1992 belum mencantumkan secara jelas peran Bapepam-LK sebagai otoritas regulator dan pengawas perusahaan asuransi di bawah kendali Menteri Keuangan. b) UU 2/ 1992 belum mengatur tentang pemasaran produk-produk asuransi hibrida. c) UU 2/ 1992 belum mengatur pembentukan lembaga penjamin dana nasabah asuransi. d) UU 2/ 1992 belum mengatur peran lembaga penjamin dana nasabah asuransi dalam upaya penyelamatan maupun kepailitan/ likuidasi perusahaan asuransi. Kelemahan pertama dapat diatasi dengan membuat UU tentang Bapepam-LK sehingga kedudukan Bapepam-LK lebih independen (tidak lagi di bawah Menteri Keuangan) sehingga kedudukannya setara dengan Bank Indonesia. DiAmerika Serikat, lembaga pengawas pasar modal dan pengawas perusahaan asuransi berdiri sendiri-sendiri dan berstatus independen karena tidak bertanggung-jawab kepada Menteri Keuangan. Kelemahan pertama ini juga dapat diatasi melalui pembentukan lembaga superbody seperti OJK (Otoritas Jasa Keuangan) yang independen dan bertugas mengawasi seluruh perusahaan di sektor jasa keuangan. Pola pengawasan model OJK mirip dengan pola pengawasan yang diterapkan di Inggris.Kelemahan kedua dapat diatasi dengan merevisi UU 2/ 1992 dengan memasukkan aturan pemasaran produk asuransi hibrida serta ketentuan kerjasama pemasaran produk jasa keuangan. Ketentuan semacam ini diperlukan guna menjamin adanya kepastian dan perlindungan hukum, sehingga kegiatan tersebut tidak sampai merugikan nasabah asuransi seperti pada kasus Bakrie Life. Penempatan portofolio investasi dalam asuransi unit-link juga harus diatur dan dibatasi seperti halnya ketentuan BMPK di perbankan. Kelemahan ketiga dan keempat dapat diatasi dengan membuat aturan pembentukan lembaga penjaminan dana nasabah asuransi, yaitu lembaga yang cara kerjanya mirip LPS. Pembentukan lembaga ini dapat diatur dalam bentuk UU tersendiri, atau dalam bentuk amandemen UU 2/ 1992 tentang Usaha Perasuransian. Seperti LPS, lembaga ini sebaiknya juga diberi peran sebagai penyelamat maupun likuidator perusahaan asuransi bermasalah. Jika Pemerintah dan DPR lebih memilih opsi pembentukan OJK, maka peran lembaga ini cukup sebatas melakukan usaha penjaminan dana nasabah asuransi. 

 BAB III 
PENUTUP 

3.1 Kesimpulan
Kasus ini menyentil kita dalam berinvestasi. Jangan terlalu memberi tempat pada nasfu ingin memperbesar kekayaan dalam waktu singkat tetapi lebih baik proporsional antara kentungan dan risiko. Dari segi regulasi, masih banyak celah yang bisa dimanfaatkan oleh korporasi untuk merugikan konsumen. Terlalu tinggi keuntungan jika risiko tinggi akan berbahaya sebaliknya terlalu rendah keuntungan tapi risiko rendah pun tidak sebanding. Bagi pemerintah, sebaiknya perlu ada pengawasan yang lebih detil terkait dengan produk—produk njlimet tapi secara laten menawarkan return jauh dari kenyataan. 

DAFTAR PUSTAKA 
http://tahersaleh.blogspot.com/2013/08/kisah-bakrie-life.html http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/05/makalah-mengenai-hukum-tentang-asuransi/

Komentar

  1. ga tahu malu, pulangin dong uang orang....

    BalasHapus
  2. dont put all egg in the one basket
    http://suarahampa.blogspot.co.id

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer